MAXI membuka mata dan melihat langit gelap dihiasi bintang-bintang yang bekerlip. Angin lembap membelai kulitnya. Ia mengernyit, kepalanya sangat sakit, mulutnya sekcring gurun pasir, dan tubuhnya berat... semua bagian tubuhnya sakit. Ia memandang langit di atas, berusaha mencema situasi.
Dibutuhkan usaha yang sangat ekstrem, tapi akhirnya ia mengangkat tubuh hingga duduk dan meringis ketika merasakan nyeri di siku dan punggungnya. Rasa takut yang janggal menjalarinya.
Apa-apaan ini? Kerikil?
Kenapa ia berbaring di kerikil? Di tanah dan sepetak rumput kering... Dengan kepala pening dan perut seolah jungkir balik, Maxi berhenti sejenak, memejamkan mata dan berkonsentrasi agar tidak muntah. Ketika mulai agak tenang, ia kembali membuka mata dan melihat sekeliling perlahan-lahan.
Kesadaran menghantamnya bagaikan guyuran air es, diikuti gelombang panas yang menusuk.
Ya Tuhan, ia di luar, berbaring di tanah lapang yang gersang dan berbatu.
Jantungnya berdebar sangat kencang, rasa bingung mencengkeramnya begitu kuat sampai ia tak bisa berpikir. Ia tidak tahu jam berapa sekarang; ia bahkan tidak tahu ini hari apa.
Di mana aku dan kenapa aku bisa ada di Sim?
Melampaui kebingungannya, rasa takut mencekik Maxi, membuatnya nyaris terisak. Namun, terisak berarti mengeluarkan suara, dan ia terlalu takut mengeluarkan
