Saat menapakkan kaki di peron, Rayhan menghentikan langkahnya. Di sekelilingnya, penuh dengan orang berlalu-lalang cepat, membawa barang-barang. Sungguh, ia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di kota ini. Membayangkannya pun tidak
mampu. Suram, berbaur-baur. tak menentu. Di hatinya muncul perasaan gamang, tidak yakin dengan apa yang dijalaninya kini. Dunia sekitarnya menjadi terasa sempit, meninggalkan dirinya bersama anak yang tergolek di bahunya.
Di hadapannya, seorang perempuan hamil besar memeluk laki-Iaki yang baru datang. Wajah keduanya tampak berbinar. Walaupun sang laki-laki masih tampak lelah, terlihat bahagia. Ya, bahagia. Kebahagiaan. Rayhan menyadari satu hal itu yang lama menghilang dari kehidupannya. Kapan kali terakhir ia merasakannya? Mungkin, beberapa tahun lalu dan itu pun tak pasti-ia benar-benar bahagia atau hanya ilusinya saja.
Di luar halaman Stasiun Tugu, udara pagi yang lemb ut bercampur dingin menyeruak ke pori-pori kulitnya. Hari masih terlalu pagi, masih terasa embusan angin dan percik air hujan sisa semalam. Laki-laki itu berdiri, tercenung sesaat melihat kendaraan umum-becak, andong, taksi-berjejer menunggu dan berebutan menawarkan jasa. Tidak mau menunggu lama, Rayhan lekas memilih taksi. Sopir pun segera membukakan pintu untuknya.
Setelah mengatakan tujuannya, Rayhan menyandarkan punggung di sandaran jok yang tak terlalu empuk. Pusat kota Yogyakarta masih tampak lengang. Toko-toko sepanjang jalan masih tutup. Sesekali, terlihat orang berjalan pagi, menikmati udara pagi. Kendaraan umum sudah banyak melintas. Pohonpohon besar tampak menaungi jalan, tempat matahari bersembunyi di antara celah-celah daunnya.
"Papa..." Kirana di sampingnya terbangun, masih menyandarkan kepalanya di lengan sang Ayah. Matanya masih meng