-->
Mengenal Apa Itu Teks Editorial, Struktur Teks Editorial, Kaidah Kebahasaan Teks Editorial Dan Contohnya
4/ 5 stars - "Mengenal Apa Itu Teks Editorial, Struktur Teks Editorial, Kaidah Kebahasaan Teks Editorial Dan Contohnya" Mengenal Teks Editorial - Pada kesempatan kali ini, admin akan menjelaskan seputar salah satu jenis teks yaitu teks editorial. Sebenarnya te...

Mengenal Apa Itu Teks Editorial, Struktur Teks Editorial, Kaidah Kebahasaan Teks Editorial Dan Contohnya



Mengenal Teks Editorial - Pada kesempatan kali ini, admin akan menjelaskan seputar salah satu jenis teks yaitu teks editorial. Sebenarnya teks yang satu ini telah kalian kenali semenjak masih sekolah Sekolah Menengan Atas tapi mungkin kalian sudah lupa.

Tak masalah, berikut admin akan jelaskan kembali seputar teks editorial mulai dari pengertian, struktur teks, kaidah kebahasaan, sampai contohnya. Oke, pribadi saja simak klarifikasi berikut ini

Apa Itu Teks Editorial?


 admin akan menjelaskan seputar salah satu jenis teks yaitu teks editorial Mengenal Apa Itu Teks Editorial, Struktur Teks Editorial, Kaidah Kebahasaan Teks Editorial dan Contohnya


Teks editorial/opini atau yang sering disebut dengan tajuk rencana merupakan teks yang berisi wacana pendapat pribadi seseorang mengenai suatu isu/permasalahan yang aktual. Isu/permasalahan ini sanggup mencakup gosip politik, sosial, ekonomi, atau juga politik.

Teks editorial biasanya sering muncul di koran ataupun majalah. Tentunya pendapat ini harus didukung dengan fakta, bukti, serta alasan yang logis/masuk nalar sehingga sanggup diterima oleh pembaca.

Apa Saja Struktur Teks Editorial?


Teks opini atau teks editorial mempunyai struktur teks yang terdiri atas : tesis(pernyataan pendapat), argumentasi, dan penegasan ulang pendapat (reiteration). Berikut masing-masing penjelasannya :


  • Tesis/Pernyataan Pendapat


Pada tesis berisi wacana sudut pandangan atau cara pandang penulis menempatkan diri terhadap isu/permasalahan yang sedang diangkat. Tesis ini sanggup mengacu ke suatu bentuk pernyataan atau sanggup berupa sebuah teori yang akan diperkuat oleh argumen.


  • Argumentasi


Pada argumentasi berisi alasan atau bukti yang mempunyai kegunaan untuk memperkuat pernyataan pada tesis. Argumentasi disini sanggup berarti memperkuat pernyataan pada tesis dengan  menawarkan data hasil penelitian, pernyataan para ahli, atau fakta-fakta yang didasari tumpuan yang terpercaya ataupun menolak pendapat tersebut.


  • Penegasan Ulang Pendapat (Reiteration)


Penegasan ulang  pendapat atau reiteration merupakan salah satu struktur teks editorial yang berisi penguatan kembali pendapat yang sudah dijelaskan pada argumentasi. Penegasan ulang pendapat terdapat pada cuilan selesai teks editorial.

Bagaimana Kaidah Kebahasaan Pada Teks Editorial Itu?
Kaidah kebahasaan pada teks editorial memakai verba material atau kata kerja berimbuhan yang mengacu pada tindakan. Berikut kaidah kebahasaan teks editorial.


  1. Konjungsi, yakni kata penghubung pada suatu teks. Contohnya : bahkan, sedangkan, melainkan, setelah, dan lain sebagainya.
  2. Verba Material, yaitu verba yang memperlihatkan adanya suatu perbuatan fisik/peristiwa
  3. Adverbia yakni kaidah kebahasaan yang ditujukan supaya pembaca sanggup meyakini teks editorial tersebut dengan memakai keterangan menyerupai selalu, sering, kadang-kadang, jarang dan sebagainya.
  4. Verba Mental, yakni verba yang memperlihatkan afeksi (khawatir, gelisah, dan sebagainya), persepsi (melihat, memandang, dan sebagainya), serta kognisi (mengerti, memahami, dsb).
  5. Verba Rasional, yakni verba yang memperlihatkan hubungan intensitas dan juga hubungan milik.


Setelah anda mengetahui apa pengertian, struktur, dan kaidah kebahasaan pada teks editorial, berikut akan admin berikan pola teks editorial. Contoh teks editorial ini admin kutip dari Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik Sekolah Menengan Atas Terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015.

Pil Pilu Pemilu (Oleh Zen Hae)


Tesis/Pernyataan Pendapat :

Pemilihan umum (pemilu) bukan hanya pesta demokrasi, tapi juga pesta kependekan (dan singkatan). Menjelang dan ketika pemilulah kita menyaksikan bangsa kita memproduksi kependekan secara besar-besaran. Pemilu itu yakni sebuah akronim, begitu juga tahapan dan perangkatnya: pemilukada atau pilkada, pileg, pilpres, pilwalkot, luber jurdil, parpol, bawaslu/panwaslu, balon, dapil, caleg, capres/cawapres, cagub/cawagub, cabup/cawabup, pantarlih, dan seterusnya.

Argumentasi

Tengok juga bagaimana para pasangan (calon) pemimpin menamai diri mereka: WIN-HT (Wiranto-Hary Tanoe), Aman (Annas Maamun-Arsyadjuliandi Rachman), KarSa (Soekarwo-Saifullah Yusuf), sementara pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawireja berakronim “Berkah”. Adapun Joko Widodo menjadi “Jokowi”, tapi Basuki Tjahaja Purnama malah dipanggil “Ahok”, tidak diakronimkan dengan “Bacapur” atau “Basunama”.

Begitulah, pangkal soal utama kependekan yakni hasrat akan keringkasan dalam berkomunikasi. Kita memakai kependekan sebagai salah satu jalan keluar supaya kalimat yang kita ungkapkan terasa ringkas, gampang diucapkan dan diingat oleh lawan bicara kita, bangsa yang beringatan pendek ini.

Sejatinya, kependekan bukanlah kata. Ia  hanya kata semu yang proses morfologisnya menimbulkan, setidaknya, tiga kecenderungan. Pertama, prinsip semau gue. Satuan terkecil kependekan yakni karakter atau suku kata dari sejumlah kata yang dipadatkan. Tapi tidak ada komitmen dalam pemadatan itu. Huruf atau suku kata manakah dari sebuah kata yang mesti dicomot: yang pertama, yang tengah, yang akhir, atau kombinasi ketiganya. Apakah yang mesti dikutip yakni unsur kata dasar atau kata turunan. Semuanya boleh sepanjang kependekan itu sanggup “diperlakukan sebagai sebuah kata”, alasannya begitulah pengertian dasar kependekan berdasarkan Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (2009).

Tapi bagaimana kita sanggup memperlakukan kependekan sebagai sebuah kata, dengan cara yang masuk akal pula? Ambil pola lain: “Sentra Gakkumdu” (Sentra Penegakan Hukum Terpadu). Meski berdasarkan syarat pembentukan kependekan ia tidak lebih dari tiga suku kata dan taat asas dengan mengambil suku kata terakhir setiap kata, “Gakkumdu” yakni “kata” yang aneh, baik suara maupun kombinasi vokal dan konsonannya.

Kedua, pencomotan karakter atau suku kata itu menggiring kita ke dalam perangkap alusi bunyi. Sadar atau tidak, ketika menciptakan akronim, kita membayangkan suara yang menyerupai dengan suara kata yang sudah ada, atau bahkan sama persis, sehingga kata yang sudah ada itu mengalami pengayaan makna. Misalnya, “pileg” (pemilu legislatif) beralusi suara dengan pilek; “caleg” (calon anggota legislatif) dengan calo; sementara “balon” (bakal calon) sebunyi dengan balon.

Tapi lain soalnya dengan “markus” (makelar kasus) dalam masalah Gayus Tambunan. Ketimbang “maksus” yang berpola, wartawan lebih menentukan “markus” yang sembarangan. Kita mengenal Markus dalam khazanah Katolik sebagai salah satu rasul atau murid Yesus. Tapi namanya telah dicatut untuk menamai sebuah kejahatan yang bertentangan dengan citranya selama ini. Akibatnya, penggunaan kependekan ini sempat diprotes umat Katolik alasannya dianggap telah mendiskreditkan rasul atau murid Yesus tersebut. Sedangkan pada zaman Orde Baru kita tidak berani memprotes penggunaan kependekan “petrus” (penembak misterius), padahal Petrus juga salah satu rasul atau murid Yesus. Penembak misterius semestinya diakronimkan dengan “bakus” atau “bakmis” (jika mengacu pada kependekan Perbakin). Tapi dua rancangan itu tidak menarik bunyinya, kurang alusif.

Terakhir, sebaliknya, pembentukan kependekan juga menghindari jebakan alusi bunyi. Sejak awal Orde Baru, “pemilihan umum” diakronimkan dengan “pemilu”, bukan “pilum”, “pemilum” (jika mengacu ke pola “ketum”). Tidak juga “pilu”, yang mencomot unsur kata dasar pilih dan umum. Jika pemilu diakronimkan dengan “pilu”, akan segera beralusi suara dengan kata pilu yang kita sudah tahu maknanya. Jika “pilu” yang digunakan, permainan makna akan menyasar ironi pemilu di masa itu: pemenangnya Golkar melulu, tidak pernah PPP atau PDI. Sedangkan sekarang “pemilu” sanggup juga dimaknai sebagai “menyebabkan pilu atau sakit hati” jawaban munculnya pelbagai sengketa dan kecurangan pemilukada.

Memang, dalam pembuatannya, kependekan yang berpola kadang tidak menarik atau membingungkan, maka orang menentukan yang melenceng tapi menghasilkan kemerduan suara (misalnya “sisminbakum”) atau menyaran kepada keinginan dan doa.

Itulah mengapa Wiranto, capres dari Partai Hanura, menyingkat namanya menjadi “Win”, bukan “Wir”, alasannya dengan “Win” ia berharap akan meraih kemenangan di pilpres nanti. Sedangkan dengan “Wir” terkesan peluangnya akan “terkiwir-kiwir”-sebagaimana pernah dinyatakan seorang pengguna Twitter.

Akhirulkalam, bagaimana semestinya perilaku kita terhadap akronim? Saya mendapatkan kependekan sebagai sebentuk kreativitas dan permainan makna yang menyegarkan. Pada titik tertentu, ia terasa mengotori bahasa Indonesia atau memperbingung penuturnya, apalagi penutur asing.

Penegasan Ulang Pendapat (Reiteration)

Agar gampang dipahami dalam berkomunikasi, syaratnya sederhana: kita harus merumuskan kalimat sepadat dan sejernih mungkin-bukan menciptakan kependekan atau singkatan. (Sumber Dari Koran Tempo 24 Februari 2014)

Sekian pembahasan seputar teks editorial semoga sedikit pembahasan ini sanggup bermanfaat bagi pembaca sekalian.